MataDian.Com, Bengkulu – Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (Society of Indonesian Environmental Journalists/SIEJ) Daerah Bengkulu kini resmi berstatus sebagai organisasi semi otonom. Keputusan tersebut ditetapkan melalui Musyawarah Daerah (Musda) pertama yang digelar di Bengkulu, pada Sabtu 25 Oktober 2025 di Tempoa berlokasi di Jalan Danau.
Perubahan status ini menandai langkah baru bagi jurnalis lingkungan di Bengkulu untuk memperkuat jejaring, memperdalam kerja kolaboratif, dan memperluas advokasi isu-isu ekologis yang kian kompleks di daerah.
Sebelum memasuki agenda Musda, SIEJ Bengkulu mengawali kegiatan dengan diskusi publik bertajuk “Perspektif Para Pihak terhadap Isu Lingkungan di Bengkulu.”
Diskusi ini menghadirkan beragam narasumber dari kalangan masyarakat sipil dan aktivis lingkungan: Ali Akbar dari Kanopi Hijau Indonesia, MA Prihatno dari Azzam Community, serta Fahmi Arisani dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Diskusi dipandu oleh jurnalis senior Harry Saswoyo yang berperan sebagai pemantik.
Dalam suasana hangat namun kritis, para pembicara menyoroti berbagai tantangan lingkungan di Bengkulu, mulai dari persoalan tata kelola tambang, ancaman deforestasi, hingga konflik lahan yang melibatkan masyarakat adat dan perusahaan besar.
Namun bukan hanya isu lingkungan yang mengemuka. Para jurnalis yang hadir juga berbagi pengalaman di lapangan—tentang sulitnya memperoleh akses informasi, tekanan dari pihak tertentu, hingga risiko keamanan yang kerap dihadapi saat melakukan peliputan.
“Menulis isu lingkungan bukan sekadar soal data. Di lapangan, ada risiko sosial, bahkan fisik. Tapi di sanalah peran jurnalis diuji—menjadi suara bagi mereka yang terdampak,” ujar salah satu peserta diskusi.
Diskusi publik ini menjadi cermin bahwa isu lingkungan di Bengkulu tidak dapat ditangani secara parsial. Dibutuhkan kolaborasi lintas sektor: jurnalis, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, hingga masyarakat adat.
SIEJ Bengkulu bertekad menjadi wadah yang menghubungkan berbagai elemen tersebut. Dengan status semi otonom, simpul Bengkulu kini memiliki ruang lebih luas untuk merancang program lokal mulai dari pelatihan jurnalisme lingkungan, penelitian, hingga advokasi kebijakan publik berbasis data lapangan.
Ketua terpilih Doni Aftarizal menegaskan, penguatan kapasitas jurnalis lokal menjadi prioritas utama kepengurusannya.
“Kami ingin jurnalis Bengkulu memiliki kemampuan lebih dalam memahami konteks lingkungan—tidak hanya menulis peristiwa, tapi juga menelusuri akar masalah dan solusinya,” ujarnya.
Bengkulu dikenal memiliki kekayaan alam yang melimpah—dari hutan lindung Bukit Daun, pesisir Samudra Hindia, hingga sumber daya tambang. Namun di sisi lain, wilayah ini juga menghadapi tekanan ekologis yang terus meningkat: abrasi pantai, pencemaran sungai, dan eksploitasi sumber daya yang tak selalu memperhatikan keseimbangan lingkungan.
Dalam konteks itu, kehadiran SIEJ Bengkulu menjadi penting. Bukan semata organisasi profesi, melainkan ruang belajar kolektif untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan keberlanjutan lingkungan.
“Jurnalis punya tanggung jawab moral untuk memastikan publik tahu apa yang terjadi di bumi tempat mereka hidup,” kata Ali Akbar dari Kanopi Hijau Indonesia dalam diskusi tersebut.
Dengan semangat baru sebagai organisasi semi otonom, SIEJ Bengkulu berkomitmen memperkuat peran jurnalis lingkungan di daerah menjadi penjaga nurani, pengingat kebijakan, dan jembatan pengetahuan antara masyarakat dan alam.
Dalam Musyawarah Daerah pertama SIEJ Daerah Bengkulu, secara musyawarah Mufakat diamankan kepada Doni Aftarizal sebagai ketua dan Windi Junius sebagai sekretaris SIEJ Daerah Bengkulu.







