MataDian.Com – Kepala Kejaksaan (Kajati) Tinggi Bengkulu, Heri Jerman, SH, MH menyampaikan, bahwa tidak semua persolan atau perkara bisa dilakukan dengam penghentian tuntutan diselesaikan secara Restorative Justice.
Hal itu disampaikan Kajati pada saat Pres release kepada rekan Media, bertempat diruang Publik Kejaksaan Tinggi Bengkulu, Selasa, (5/4/22).
Menurut Kajati, tidak semua perkara bisa dilakukan atau diterapkan penghentian tuntutan atau Restorative Justice namun ada beberapa pertimbangan.
Penghentian tuntutan dapat dilakukan Restorative Justice apabila perkara dianggap ringan dan di setujui oleh kedua belah pihak dan mendapat respon dari masyarakat.
“Program Restorative Justice yang sudah diketahui oleh masyarakat luas harus terukur, tidak semua perkara kita terapkan Restorative Justice, ” ungkap Kajati.
Lanjut Kajati, khusus hari ini ada 3 perkara yang sudah dilakukan penghentian tuntutan atau Restorative Justice, dihentikan di Kejaksaan dan tidak dilimpahkan ke Pengadilan, diantaranya :
- Dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bengkulu atas nama tersangka Mukrin Bin Anang yang melanggar pasal 351 ayat (1) dihentikan karena dianggap perbuatan pidana ringan hanya melakukan penempelengan di bagian pipi yang hanya mengakibat memar saja,
disamping itu juga sudah dilakukan perdamaian antara kedua belah pihak, masa hukuman hanya 2 tahun 2 bulan dan tersangka juga baru pertama kali melakukan tindak pidanapidana serta mendapatkan respon positiv dari masyarakat. - Dari Kabupaten Bengkulu Tengah (Benteng) atas nama Zulhelmi Martin Bin Maswan, masalah Suami Istri.
- Dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Kaur atas nama Antonia alias Arif atau Jamhari, yaitu kasus antara kakek dengan cucu dengan permasalahan peminjaman uang untuk berbisnis elpiji.
Selain itu juga Kajati menyampaikan, sejak 1 bulan bertugas di Bengkulu sudah mengajukan 6 perkara dapat diselesaikan melalui Restorative Justice, semuanya sudah disetujui oleh Jampidum.
“Karena kita tidak boleh terlalu lama, begitu tahap aduan ada pertimbangan RJ langsung dilaksanakan, karena mereka masih dalam status tahanan, ” jelas Kajati.
Lebih lanjut Kajati mengatakan, sejak RJ sudah diterapkan di seluruh Indoneisa, Provinsi Bengkulu sudah menerapkan 25 perkara.
“Tahun 2021 sebanyak 12 perkara, sedangkan di tahun 2022 sejumlah 10 perkara, ” demikian Kajati. (Dian)