PERTANYAAN mendasar bagi mahasiswa Fakultas Hukum adalah untuk apa hukum itu ada? Hukum untuk mengatur manusia atau manusia untuk mengatur hukum. Selama ini, para penegak hukum umumnya bekerja sebatas prosedur hukum yang bersifat normatif-birokratis.
Dalam ruang sempit berjuluk “prosedur” tersebut, keadilan acap kali sulit didapat. Penegak hukum selalu berlindung di balik prosedur yang kadang tak ramah. Sifat kaku di balik prosedur hukum yang rumit, membuat hukum tak ubahnya seperti robot. Hukum menjadi berwatak teknokratis (mesin).
Pada saat hukum menjadi robot, saat itulah hukum akan sangat bergantung pada remot pengontrol. Remot-remot hukum itu menentukan ke mana arah hukum akan ditegakkan. Hukum bisa menjangkau yang lemah. Sebaliknya, hukum tak berdaya terhadap yang kuat. Remot-remot hukum itu: kekuasaan dan uang.
Kondisi ini sering disimbolisasi pada cerita orang melapor kehilangan kambing, tapi malah kehilangan sapi karena prosedur yang rumit dan panjang. Untuk mengejar pelaku butuh minyak. Untuk menangkap pelaku butuh biaya. Makin berharap keadilan, makin besar kerugian.
Ruang sempit dan gelap penegakan hukum itu bukan hanya membuat watak teknokratis hukum semakin berkarat. Tapi juga menjauhkan hukum dari hati nurani. Padahal hati nurani adalah ibu kandung dari keadilan, kejujuran dan kemanusiaan. Di sinilah sejatinya watak hukum yang asli.
Dalam prakteknya, hukum sering silau dengan rupiah. Dan tergagap-gagap menghadapi kekuasaan. Hukum bisa sangat tegas terhadap pedagang kaki lima. Tapi lembek terhadap yang berkuasa. Peribaratan yang sangat populer di kalangan masyarakat kita; hukum sering tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.
Hukum bukan sebatas prosedur. Tapi inti dari hukum adalah hati nurani yang melahirkan rasa keadilan dan kemanusiaan. Singkat kata, hukum tidak lain adalah hati nurani itu sendiri. Nilai-nilai ini dengan sangat cerdas digali oleh para foundhing father dalam lima prinsip dasar kehidupan bernegara kita yakni Pancasila.
Kegelapan hanya teratasi dengan cahaya. Di tangan palu hakim-hakim, cahaya itu dinantikan. Butuh keberanian memang untuk membuat lompatan-lompatan dalam penegakan hukum. Keadilan tidak bisa dicapai dengan cara-cara biasa sesuai prosedur yang ada. Terkadang keadilan hanya bisa dicapai lewat penegakan hukum yang progresif.
Ada kisah dua orang ibu meminta keadilan kepada Nabi Sulaiman. Satu ibu muda. Satu ibu lebih tua. Keduanya memperebutkan seorang bayi. Sulaiman mengatakan akan membelah bayi itu menjadi dua. Ibu yang lebih muda langsung mengatakan jangan. Itu bayi dia. Berikan bayi itu kepada dia. Sedangkan ibu yang lebih tua hanya diam. Sulaiman akhirnya memutuskan, menyerahkan bayi kepada ibu yang lebih muda. Sulaiman yakin, dialah ibu bayi itu yang sebenarnya.
Keyakinan hakim adalah kuncinya. Selama ini, keyakinan dan keteguhan hati hakim tidak jarang goyah oleh remot-remot pengontrol tadi. Uang dan kekuasaan.
Putusan yang dijatuhkan hakim Wahyu Imam Santoso bersama dua hakim anggta Morgan Simanjutak dan Alimin Ribut Sujono terhadap terdakwa pembunuh Brigadir Joshua menurut saya adalah lompatan dalam penegakan hukum di Indonesia. Hakim meloncati kawat berduri prosedur dengan melakukan agresifitas hukum. Hakim keluar dari pakem bahwa hukuman jarang melebihi tuntutan.
Artidjo Alkostar adalah hakim yang sering keluar dari pakem seringnya korting hukuman di tingkat kasasi. Dia membalikkan pakem itu 180 derajat. Sehingga di masa Artidjo menjadi hakim agung (kini pensiun), rata-rata kasus korupsi di tingkat kasasi, hukumannya diperberat, bahkan berlipat.
Dalam kasus Brigadir Joshua yang menyita perhatian hampir seluruh masyarakat Indonesia ini, hakim menjatuhkan vonis maksimal terhadap Ferdi Sambo yakni hukuman mati. Melebihi tuntutan jaksa hukuman seumur hidup. Istri Sambo, Putri Chandrawati divonis 20 tahun, sopir Putri bernama Kuat Makruf divonis 15 tahun, dan ajudan Sambo bernama Ricky Rizal divonis 13 tahun. Putusan untuk ketiganya melebih tuntutan jaksa yang hanya 8 tahun.
Vonis terhadap Richard Eliezer lebih progresif lagi yakni 1 tahun 6 bulan. Jauh dibawah tuntutan jaksa 12 tahun. Hakim mempertimbangkan Eliezer sebagai JC. Kejujuran dan keberanian Eliezer adalah pintu pembuka kasus ini dari sandiwara awal tembak-menembak.
Hukum progresif adalah hukum yang mengutamakan aspek moralitas. Bukan formalitas. Air mata orang-orang yang menyaksikan siaran langsung putusan Eliezer seperti mewakili sisi kemanusiaan dan rasa keadilan masyarakat.
Pada akhirnya kita harus mengatakan, bukan pada teks-teks hukum yang “mati” itu keadilan bisa didapatkan. Tapi di tangan penegak hukum yang menegakkan teks-teks tersebut, keadilan menjadi hidup.
Salam cinta dari lubuk hati yang paling dalam untuk orang-orang pinggiran.
Penulis adalah wartawan senior yang juga Ketua Dewan Kehormatan PWI Provinsi Bengkulu